sulis

Minggu, 23 Januari 2011

PENGUNDURAN DIRI YANG SEJATI IALAH MEMUSATKAN PIKIRANMU KEPADA TUHAN



 
Setelah engkau mengetahui cacat dan kelemahan pada benda-benda duniawi, engkau tidak lagi ingin memiliki benda-benda itu. Jika engkau ingin mencapai Tuhan dan mendapat penampakan-Nya, sifat paling penting yang harus kau kembangkan adalah wairagya 'ketidakterikatan' atau pengunduran diri dari keduniawian. Ketidakterikatan memberi engkau kemampuan untuk mengarahkan pandanganmu ke dalam batin; hal ini memungkinkan engkau mengarahkan perhatian pada pikiranmu ke alam batin dan menghayati keindahannya. Pikiran itu sangat kuat dan berubah terus, ia bertekad mencapai tujuan. Arjuna memohon kepada Krishna agar membantunya dalam pengendalian pikiran. Ia berkeluh kesah, "Ya Tuhan, pikiranku sangat kuat dan tetap berontak." Krishna menjawab, "Arjuna, jika engkau melaksanakan ketidakterikatan, engkau pasti mampu mengendalikan pikiranmu."
Pikiran dapat diumpamakan sebagai pohon pipal. Ada angin atau tidak daun pipal selalu bergetar. Demikian pula pikiran selalu berubah dan mudah terombang-ambing. Di samping itu, pikiran sangat kuat dan keras kepala. Misalkan saja gajah, binatang ini juga sangat kuat dan kadang-kadang amat galak. Namun, dengan tongkat yang berujung runcing engkau dapat menguasainya. Kuda tidak pernah diam; itulah sebabnya ia dinamakan ashok yang artinya 'bergerak terus'. Ia selalu menggerakkan kakinya, telinganya, kepalanya, atau ekornya. Karena ingin bergerak terus, ia berjalan kian kemari, tetapi dengan tali kekang ia dapat dikendalikan dan diarahkan sesuai dengan kehendak sang penunggang.
Contoh lain adalah kera yang suka berkelana kian kemari, mencerminkan ketidaktenangan dan ketidaktetapan; tetapi dengan latihan, ia pun dapat dikendalikan. Karena itu, sebagaimana halnya dengan tongkat engkau dapat mengendalikan gajah yang mungkin sangat galak dan kuat, sebagaimana halnya dengan kekang engkau dapat mengendalikan kuda yang sangat gelisah dan tidak tenang, sebagaimana halnya dengan latihan, kera pun dapat dikendalikan, demikian pula pikiran yang juga kuat dan tidak tetap, dapat dikendalikan dengan ketidakterikatan dan latihan terus menerus, dengan kata lain dengan wairagya dan abhyasa.
Ketidakterikatan berarti menyadari sifat benda-benda yang sementara dan tidak membiarkan pikiran serta perasaan terikat pada hal-hal yang fana ini. Ini tidak berarti bahwa engkau merasa muak atau benci pada benda-benda itu, melainkan dalam hati engkau tidak terikat kepadanya. Tidak mungkin kita bersikap sama sekali tidak acuh pada benda-benda duniawi. Namun, engkau dapat meniadakan rasa "milikku", rasa memiliki. Bila engkau telah menghilangkan rasa memiliki itu, engkau dapat maju terus dan menikmati berbagai macam benda duniawi, hal itu tidak akan membahayakan. Dalam dunia yang fana ini segala sesuatu, setiap orang, dan semua benda mengalami perubahan. Dunia terdiri dari tiga macam perubahan, tumbuh, hidup, dan mati. Semua benda tunduk pada perubahan ini. Jika engkau mengkhayal bahwa dunia yang bersifat sementara dan tidak langgeng ini adalah abadi, dan engkau terikat pada benda-benda yang ada di dalamnya, itu sungguh-sungguh pikiran sinting.
Dalam pura Wisnu engkau akan melihat gambar Garuda. Dalam pura Shiwa engkau akan menemukan gambar Nandi 'lembu jantan'. Dalam pura Rama engkau akan melihat gambar Hanuman atau kera. Semua itu menggambarkan keterikatan yang benar yaitu keterikatan kepada Tuhan yang abadi dan ketidakterikatan pada dunia yang bersifat sementara. Seluruh perhatian Nandi, Garuda, dan Hanuman terpusat pada kaki Tuhan, mereka hanya melihat Tuhan, bukan dunia. Makna gambar itu adalah engkau tidak boleh terlalu memikirkan yang bersifat sementara, melainkan selalu memusatkan diri dan merenungkan yang bersifat abadi yaitu Tuhan itu sendiri. Bila engkau telah menyadari cacat benda-benda duniawi, sifat kesementaraannya dan ketidaklanggengnya, maka lambat laun engkau tidak ingin memilikinya. Banyak cerita yang menunjukkan bahwa Adiraja yang kaya raya, memiliki kemewahan dan harta benda yang tak terhingga, tidak mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian hati dari kekayaan tersebut. Untuk mendapat kedamaian mereka pergi ke hutan dan bertapa. Di sini mereka mendapat kepuasan hati dan hiburan batin yang mereka dambakan.
Ketidakterikatan tidak hanya berarti menyadari kekurangan dan kelemahan benda-benda yang bersifat sementara itu. Ada juga sifat positifnya, yaitu memanfaatkan sebesar-besarnya benda-benda duniawi itu. Engkau harus selalu berusaha menggunakan benda itu sebaik-baiknya dan memberikan penghargaan semestinya. Hanya dengan menyadari keterbatasan dan kesengsaraan yang ditimbulkan oleh benda-benda duniawi itu, engkau tidak akan memperoleh kebahagiaan. Engkau harus pula mengetahui bagaimana cara menggunakan benda itu untuk melakukan tugasmu di dunia, dengan demikian engkau akan memperoleh kepuasan batin. Dalam arti yang lebih luas, ketidakterikatan yang sejati adalah membuang kesengsaraan dunia dan memperoleh kebahagiaan batin. Meninggalkan keluarga, istri, anak, dan harta milik lalu pergi ke hutan tidak dapat dinamakan ketidakterikatan. Ketidakterikatan sesungguhnya adalah menyadari kelemahan suatu benda disamping menyadari segi-segi positifnya.
Bila engkau menemui kesulitan, entah fisik, mental, keuangan, atau kesulitan apa pun, mungkin engkau lalu mengembangkan perasaan tidak terikat pada objek yang menyebabkan keadaan itu. Hal ini wajar. Misalnya, seseorang meninggal dan jenazahnya dibawa ke tempat perabuan untuk dikremasikan. Bila engkau melihat situasi tersebut engkau mengalami ketidakterikatan tertentu dan berfilsafat bahwa badan kita ini suatu ketika harus lenyap. Tetapi ketidakterikatan ini hanya sementara, perasaan sementara, tidak dapat dianggap sebagai wairagya sejati.
Contoh lain ialah bila seorang ibu sedang melahirkan; karena tidak dapat menahan sakit, ia berteriak bahwa ia lebih suka mati. Ini juga bukan ketidakterikatan yang sejati. Sesudah bayinya lahir, misalnya bayi itu perempuan, segera ia ingin agar lain kali mendapat bayi laki-laki. Situasi yang sama terjadi jika seseorang tidak berhasil mencapai hal yang diinginkannya, di sini pun ia mengalami semacam ketidakterikatan. Semua sikap ini bersifat sementara, lain sekali dengan ketidakterikatan yang langgeng.
Ketidakterikatan yang langgeng disebut pula ketidakterikatan yang kuat, bertentangan dengan ketidakterikatan yang loyo atau lemah. Seseorang mungkin telah bertekad untuk berziarah ke salah satu dari tempat-tempat suci di India, namun lalu ada keinginan yang kuat untuk menundanya hingga bulan berikutnya. Bila untuk mengerjakan sesuatu yang baik, seperti misalnya berziarah, orang akan cenderung ingin menundanya. Sebaliknya, kalau untuk mengerjakan hal-hal yang tidak baik, orang ingin melakukannya segera di tempat itu juga tanpa membuang waktu. Biasanya orang tidak berusaha keras untuk mengerjakan hal-hal yang baik. Hal ini dapat disebut sebagai wairagya yang lemah yang berkecenderungan menunda pelaksanaan niat-niat yang baik atau perbuatan-perbuatan yang baik. Tetapi sikap semacam itu tidak akan membantu engkau mencapai tujuan spiritual. Hanya wairagya yang kuat, ketidakterikatan yang kuat yang amat penting untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan spiritual.
Jika engkau beranggapan bahwa suatu perbuatan adalah baik dan suci, janganlah hal itu kau tunda. Engkau harus segera melaksanakannya dan mengusahakan agar perbuatan baik ini selesai dengan sukses. Inilah jalan yang mudah ditempuh yang diajarkan oleh sang Buddha bagi semua manusia. Setelah Gautama Buddha menyadari bahwa badan ini tidak langgeng bahwa tidak ada satu benda duniawi pun yang dapat bertahan selamanya, Beliau bertekad akan mencari dan menemukan kebenaran yang abadi. Beliau meninggalkan keluarganya, kerajaannya, dan pergi ke hutan untuk mencapai penghayatan kesunyatan. Ada lagi seorang raja besar yang mempunyai jiwa pengorbanan dan ketidakterikatan yang kuat yaitu Harischandra. Walaupun sebenarnya ia adalah Adiraja, karena suatu kemalangan ia menjadi penunggu tempat perabuan.
Pada suatu hari, ketika Harischandra pertama kali melakukan tugasnya di tempat perabuan, ada jenazah seorang kaya yang dibawa ke sana oleh sejumlah besar handai taulan. Mereka membawa jenazah itu, membakarnya, dan segera kembali ke rumah masing-masing. Biasanya bila jenazah dibakar, harus ditaruh beban diatasnya sebab jika dipanasi jenazah itu akan melengkung seolah-olah akan bangun, dan kemudian terbaring kembali. Hari itu hanya Harischandra yang tetap tinggal di tempat perabuan, di antara teman dan kaum kerabat orang yang meninggal itu tidak ada seorang pun yang tinggal untuk memperhatikan jenazah tersebut. Harischandra pergi untuk mengambil kayu api lagi, tiba-tiba ia melihat jenazah itu bangun. Ia sangat terkejut lalu datang mendekat untuk mengamatinya.
Ketika Harischandra mendekati api, ia melihat jenazah itu telah kembali dalam posisi berbaring. Beberapa saat ia mengira bahwa jenazah itu hidup, duduk seolah-olah mencari keluarga dan kawan-kawannya, namun segera ia menyadari bahwa apa yang terjadi itu hanyalah ilusi sementara seakan-akan mayat itu hidup karena panas api. Harischandra berpikir, "Seperti aku mengira mayat itu hidup, aku mengira dunia ini pun nyata. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Dunia ini hanya tampaknya saja seakan-akan nyata." Harischandra menyayangkan bahwa orang sekaya itu tidak mempunyai sanak keluarga atau teman yang mau menunggu pembakaran jenazahnya sampai selesai. Ia berpikir, bagaimana pun kedudukan dan kekayaan seseorang, setelah ia meninggal, istri dan anak-anaknya sekalipun tidak merasa terikat kepadanya. Setelah mengalami hal ini Harischandra mempunyai rasa ketidakterikatan yang kuat terhadap benda-benda dan wujud keduniawian.
Setiap hari, bahkan setiap saat terjadi perubahan dalam semua benda di dunia ini. Perubahan ini tidak semu, bukan khayalan, tetapi alamiah dan merupakan sifat yang wajar pada setiap benda. Bila engkau telah menyadari bahwa dunia ini pada dasarnya merupakan panggung bagi terjadinya perubahan alamiah yang tak putus-putusnya dan bahwa perubahan itu telah menjadi sifat benda-benda duniawi, maka engkau akan bebas dari kesengsaraan. Siapa saja yang menyadari bahwa ada racun yang membawa maut dalam gigi ular berbisa, tidak akan mendekatinya. Jika engkau melihat seekor kalajengking dengan ekornya yang tegak ke atas mendekati engkau dan siap menyengatmu, tidakkah engkau lari menjauhinya? Hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa atau orang yang bodoh sekali akan mendekati binatang itu sehingga kena sengatannya dan meninggal.
Tuhan telah mengajarkan dalam Gita bahwa daripada menderita karena keterikatan dan mengalami kekecewaan bila harus terjadi perubahan, jauh lebih baik bila sejak semula tidak terikat pada benda dan hal-hal yang bersifat duniawi. Namun kini engkau terus merencanakan berbagai hal dan menginginkan macam-macam agar dapat memperoleh kebahagiaan yang sementara. Engkau menghabiskan tenagamu sendiri untuk memikirkan dan membuat rencana. "Aku mau membuat ini, aku mau membuat itu," atau "Aku akan mengerjakan ini, bukan itu," dan melibatkan diri dalam bermacam-macam proyek dan kegiatan. Tetapi engkau harus menanggung akibatnya dikemudian hari.
Bibit apa pun yang kau tanam melalui perbuatanmu akan matang dan kembali kepadamu dalam bentuk panen yang merupakan akibat dari perbuatanmu itu sendiri. Jika bibit itu tergolong pada suatu varietas tertentu, engkau tidak bisa berharap dapat memperoleh kembali akibat dari jenis yang lain. Apa pun perbuatan yang kau lakukan, buahnya yang sesuai akan diberikan kepadamu dalam bentuk karangan bunga yang dikalungkan pada lehermu. Pada waktu engkau lahir dari rahim ibumu, tidak ada kalung atau karangan bunga yang terlihat. Tidak ada rangkaian mutiara, tidak ada untaian batu permata, juga tidak ada kalung emas di lehermu, namun suatu kalung pasti ada pada lehermu. Kalung itu terangkai dari akibat-akibat perbuatanmu pada masa lalu yang telah kau lakukan pada kelahiran-kelahiran sebelumnya. Kalung itu yang diberikan kepadamu oleh Sang Pencipta akan menghias lehermu walaupun tidak tampak oleh mata biasa. Orang yang menyadari kebenaran bahwa setiap perbuatan akan menimbulkan akibat akan melakukan pekerjaan yang baik-baik saja dan akan memanfaatkan hidupnya hanya untuk melakukan perbuatan yang akan memberinya hasil yang baik. Hal ini telah diajarkan dalam Gita sebagai kegiatan spiritual yang sangat penting bagi para pengabdi. Pengamalan ini akhirnya akan membuat engkau mengabaikan dan tidak menginginkan hal-hal yang bersifat duniawi dan akan menghasilkan kebijaksanaan sejati. Ada sebuah contoh yang menggambarkan sifat dunia yang maya ini dan ketidakterikatan kepada maya yang harus kau miliki.
Raja Janaka memiliki keahlian yang luar biasa dalam Brahmajnana 'pengetahuan mengenai Brahman'. Ia dinamakan "Raja Wideha". Wideha artinya 'tiada jasmani', dengan kata lain, orang yang tidak mempunyai rasa kesadaran jasmani. Pada suatu malam setelah makan ia membicarakan masalah administrasi dengan para menterinya. Ia agak terlambat kembali ke ruang tidurnya. Makanan telah disiapkan, tetapi tidak disentuhnya. Ia duduk santai di atas sofa dan permaisurinya memijat kakinya. Raja Janaka segera tertidur. Permaisuri menyuruh semua dayangnya meninggalkan ruangan agar raja yang sangat lelah tidak terganggu. Raja diselimuti, lampu dikecilkan, dan Permaisuri duduk menungguinya. Tak lama kemudian Raja Janaka membuka mata, duduk, kemudian memandang ke sekelilingnya dengan heran bercampur ragu, dan sangat aneh ia bertanya, "Apakah ini nyata, atau apakah itu nyata? Apakah ini benar-benar atau apakah itu yang benar?"
Permaisuri agak ketakutan karena pandangan raja yang seakan-akan kebingungan dan pertanyaannya aneh, ia mencoba menanyakan apa sebenarnya maksud pertanyaan itu, tetapi raja tidak menjelaskan atau menjawabnya. Raja tetap bertanya, "Apa ini benar, apa itu yang benar?" Permaisuri memanggil para menteri, penasehat, dan pejabat-pejabat penting lainnya. Mereka berkumpul lalu bertanya kepadanya, "Maharaja, apa gerangan yang membingungkan Yang Mulia? Apa sebenarnya Yang Mulia tanyakan?" Namun, raja tidak menanggapi pertanyaan mereka. Akhirnya menteri memanggil Pandita Agung Washishta di balairung. Resi Washishta bertanya kepada raja, "Apa yang Baginda tanyakan? Apakah yang membingungkan Baginda? Kiranya saya bisa menjelaskan." Raja menjawab semua pertanyaan dengan pertanyaan pula, "Apa itu kebenaran, apa ini kebenaran? Apa ini kenyataan, apa itu kenyataan?"
Resi Washishta yang maha mengetahui itu memejamkan matanya dan melakukan meditasi sejenak untuk mengetahui apa yang menyebabkan raja berbuat aneh. Washishta tahu bahwa Raja Janaka secara tiba-tiba terbangun dari mimpi. Dalam mimpinya itu ia kehilangan kerajaannya lalu berkelana seorang diri dan merana di hutan. Ia merasa amat lapar, lelah, dan terpencil. Sementara mengembara dalam hutan, ia tak henti-hentinya berseru, "Aku lapar, aku lapar." Kebetulan ada beberapa perampok di hutan itu. Mereka sedang duduk di lapangan di dekatnya siap akan makan dengan menggunakan piring dari daun-daunan. Para perampok itu merasa iba melihat Janaka lalu mengajaknya ikut makan.
Pada saat itu juga datanglah seekor harimau. Mereka semua lari untuk menyelamatkan diri. Harimau itu melahap makanan mereka. Janaka dengan terhuyung-huyung berjalan lagi dalam hutan seraya berseru, "Oh, aku lapar. Aku sangat lapar." Ketika terbangun, didapatinya dirinya berada dalam istana di atas kursi kerajaan serta didampingi oleh Permaisuri. Di atas meja di dekatnya ada baki perak penuh dengan makan yang mewah dan sangat lezat. Ia mulai bertanya apakah ia adalah orang yang kelaparan yang merana seorang diri, meminta-minta makanan dari perampok dalam hutan yang seram ataukah ia adalah seorang Adiraja yang tinggal dalam istana megah di tengah-tengah segala kemewahan. "Apakah ini benar ataukah itu benar?"
Segera Maharesi Washishta mengetahui apa yang membingungkan sang raja lalu berkata, "Baginda Janaka, tak satu pun dari dua peristiwa ini benar. Anda sajalah yang benar. Anda, Anda sendirilah kebenaran. Anda yang hadir sebagai kesadaran murni, baik dalam keadaan mimpi maupun dalam keadaan jaga, Anda yang menyaksikan kedua keadaan ini, itulah kenyataan yang sejati. Hidup merupakan mimpi malam. Keduanya maya, penuh dengan cacat dan cela karena semua itu terus berubah, dari suatu benda ke benda lain; maka semua itu tidak sejati. Hanya Anda yang tetap tidak berubah dalam semua keadaan ini adalah kenyataan yang sejati, bebas dari segala perubahan dan maya." Hal ini juga ditekankan dalam Gita ketika Krishna menjelaskan kebenaran yang penting bahwa dunia ini selalu berubah dan hanya diri sejati sajalah yang tidak berubah.
Swami telah menjelaskan sebelumnya bahwa ketidakterikatan tidak berarti meninggalkan segala sesuatu lalu pergi ke hutan dan hidup sebagai sanyasin. Tapa brata tidak dimaksudkan sebagai sikap badan yang tertentu atau mati raga. Yang dimaksud dengan tapa adalah kesedihan sangat mendalam yang kau alami bila engkau merasa terpisah dari Tuhan. Bila engkau menanggung penderitaan batin karena keterpisahan ini, maka di mana pun engkau berada, engkau melakukan tapa. Selama mengalami kesedihan yang mendalam ini dan aspirasi yang kuat untuk mencapai Tuhan, engkau tidak akan terpengaruh oleh ketiga guna atau ketiga sifat yaitu tamas, rajas, dan satwa. Pada waktu itu semua guna akan lebur menjadi satu. Penyatuan ketiga guna inilah yang dinamakan tapa. Inilah yang menimbulkan kebahagiaan yang tak terlukiskan, yaitu kebahagiaan ananda. Jadi, tapa yang sejati ialah suatu keadaan ketika ketiga guna itu menyatu dan menimbulkan ananda atau kebahagiaan abadi. Untuk lebih mengerti hal ini, perhatikan contoh dari kehidupan kita sehari-hari.
Setiap hari engkau menikmati manfaat listrik. Ada kipas listrik di kamarmu. Tiga buah daun kipas dihubungkan dengan mesin kipas. Jika daun-daun kipas itu berputar ke arah yang berbeda-beda, kipas itu tidak akan menghasilkan banyak angin. Tetapi jika daun-daun kipas itu berputar ke satu arah, seolah-olah hanya satu daun yang berputar, maka engkau dapat menikmati angin yang menyenangkan dari kipas itu. Jadi, kesejukan angin hanya timbul bila ketiga daun bekerja sama dan berputar searah. Demikian pula, bila ketiga guna menyatu dan bekerjasama, engkau akan mendapat kebahagiaan. Dalam gambaran ini, hatimu dapat diumpamakan sebagai kamar yang berisi kipas. Budi atau intelek sebagai tombol listrik. Kekuatan spiritualmu, energi yang berasal dari atma, dapat diumpamakan sebagai listrik yang menggerakkan kipas. Sadhana adalah proses penjernihan intelek yang memutar tombol untuk menyalakannya. Bila ketiga guna ini bekerja sama dengan harmonis, sama seperti daun-daun kipas itu, maka seluruh penderitaan batinmu akan berubah menjadi kebahagiaan. Dengan cara ini engkau dapat mengubah tenaga hidupmu dan seluruh kemampuan rohanimu menjadi tapa dan kebahagiaan.
Dewasa ini orang bukannya mengikuti jalan tapa guna, melainkan cenderung mengikuti tamo guna yaitu bermalas-malas dan enggan berpikir. Ia mengabaikan dan melupakan kemampuannya untuk melaksanakan tapa. Bila engkau membiarkan pandangan bebas berkelana dalam dunia yang bersifat sementara dan cepat berlalu, hal ini akan menjadi tamas. Bila engkau memusatkan pandangan dan kesadaranmu pada Tuhan yang kekal, makan ini menjadi tapas. Swami telah sering memberikan contoh ini. Misalnya ada pintu terkunci. Jika engkau ingin membukanya engkau harus memasukkan kunci pada lubang kunci dan memutarnya ke kanan, pintu akan terbuka, Tetapi, jika engkau memutarnya ke kiri, pintu akan tetap terkunci. Padahal kunci dan anak kuncinya sama. Bedanya hanya cara engkau memutar kunci itu. Jika kau putar pikiranmu ke arah Tuhan engkau mendapat kebebasan. Jika engkau memutarnya ke arah benda-benda duniawi, engkau tetap terikat. Pikiran yang sama itu menjadi sumber kebebasan atau keterikatan.
Wairagya sejati atau pengunduran diri adalah pemusatan pikiran kepada Tuhan, kepada perwujudan yang kekal. Ketidakterikatan dan pengorbanan ini harus dirasakan betul-betul. Jangan kau biasakan menunda-nunda latihan rohanimu. Misalnya engkau akan menghadiri perkawinan, engkau menyiapkan pakaian jauh-jauh hari sebelumnya. Atau misalkan engkau kebetulan ingin nonton bioskop, engkau cepat-cepat menyiapkan diri. Bahkan untuk jalan-jalan saja engkau segera siap. Bila engkau tidak bisa nonton bioskop hari ini, engkau dapat dengan mudah menundanya hari berikutnya. Jika engkau tidak dapat bisa jalan-jalan sekarang, bisa saja engkau melakukannya pada saat yang lain. Tetapi, perjalanan menuju Tuhan tidak dapat ditunda atau dibatalkan. Engkau harus selalu siap menghadapi apa pun yang mungkin terjadi. Waktu tidak bisa menunggu. Waktu tidak mengikuti kita, kitalah yang harus mengikuti waktu. Waktu terus berlalu dan membawa segala sesuatu bersamanya.
Gita mengajarkan kepadamu bahwa engkau boleh menikmati benda-benda duniawi, tetapi sementara itu engkau tidak boleh membiarkan dirimu terikat kepada benda-benda itu dengan anggapan bahwa engkau memilikinya. Rasa pengunduran diri atau ketidakterikatan ini adalah salah satu aspek filsafat kerohanian yang paling penting diutarakan dalam Gita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar