sulis

Kamis, 02 Desember 2010

PESAWAT!!! MINTA UANGNYA!!! "



Ini adalah pengalamanku di masa kecil dulu, saat masih ingusan dan masih senang bermain dengan teman sebaya berlarian berkejaran di lapangan yang letaknya kebetulan persis di sawah ( bubulak wetan). Dan bukan tak mungkin anda semua yang membaca posting saya kali ini pun turut merasakannya di waktu kecil dulu, meski kadang anda sendiri tak menyadarinya...

Kebetulan kampung masa kecil saya dulu adalah menjadi salah satu lintasan atau jalur penerbangan
Yah, namanya juga anak kecil yang masih lugu dan polos. Mereka belum pernah merasakan hiruk pikuk perkotaan yang riuh rendah ramai dengan segala situasi yang melingkupi kehidupan masyarakatnya. Banyak pengalaman jaman dulu yang bila dipikir-pikir kembali sekarang, semua itu terkesan konyol dan lucu. Hahaha...

Salah satunya adalah kebiasaan kami, anak-anak kecil desa yang hidup di kampung adalah bermain bersama di tanah lapang. Nah, saat pesawat melintas di atas kepala kami, sontak kami pun berlarian bersama seraya menengadahkan kepala dan tangan dan berteriak bersama-sama, "Pesawat! Minta Uangnya!". Hehehehe...

Begitu pula saat sedang santai di dalam rumah menyadari suara pesawat terbang yang membahana dan menggema di angkasa sana, saya pun keluar menuju halaman dan berteriak lantang minta uang ke arah langit. Seolah-olah mereka yang sedang menumpang di pesawat mendengarkan pekikan suara kami di bawah sana... Wahahaha.. Dan meskipun sadar uang tak pernah akan turun dari pesawat, alam bawah sadar kami pun menuntun mulut kami untuk berteriak seperti itu dan berlarian memandangi pesawat yang terbang di atas kampung kami.



Hiks... Benar-benar sebuah deja vu...!!

Rabu, 01 Desember 2010

Wow..Waduk Darma Di kuningan Tambah Keren Aza !!!!

dulu  waktu masih di bangku sekolah menengah sering bolos', gara gara tempat ini..nahh ini.., ketempat ini sekolahnya..kuurangg..nguajarr !!!Wuakakakkkkk !!!!

KUNINGAN,Kuning Yg Agung & Kuning Yg Ayu ...

Asal-usul nama Kuningan, selain berarti “logam kuningan” yang disimbolkan dengan bentuk “bokor” kuningan yang akhirnya menjadi maskot Kab. Kuningan bersamaan dengan simbol “Kuda Si Windu”, konon nama Kuningan juga diartikan sebagai bentuk kiasan dari “Kuning Yang Agung”. Memandang warna kuning memang akan memberikan efek orang yang melihatnya akan terpesona oleh kecerahan dan ke”gebyaran” warna kuning tadi. Warna kuning yang mungkin mirip dengan warna emas sebagai simbol logam mulia ini, kiranya menjadi unsur sugesti agar daerah yang disebut kuningan ini menjadi daerah yang mempunyai daya pikat atau kekuatan seperti warna kuning yang melambangkan keagungan ini.
Berkaitan dengan simbol warna kuning ini, dalam era tahun 1970-an sampai dengan 1990-an di kota Kuningan pernah berdiri Gedung “Kuning Ayu” yang dikenal sebagai gedung bioskop kebanggaan warga Kuningan tempo lalu. Namun sayangnya gedung cinema ini sekarang keberadaannya sudah berakhir bersamaan dengan surutnya minat masyarakat Kuningan menonton film-film layar lebar dan beralih ke layar kecil di televisi. Padahal kalau kita perhatikan pemberian nama Kuning Ayu nampaknya sangat pas kalau disandingkan nama tersebut dengan nama Kuningan. Atau dengan kata lain nama “Kuning Ayu” memang cocok ditempatkan atau berada di daerah Kuningan yang tadi diisyaratkan sebagai simbol warna “Kuning Yang Agung”. Sayangnya sekarang nama Kuning Ayu hanya jadi legenda saja, tidak ada yang berani memakainya lagi. Coba siapa lagi yang akan memakai nama “Kuning Ayu” ? Apakah sudah dipatentkan..????

sejarah nama kuningan di jabar & nama kuningan di jakarta

Menilik sejarahnya ibukota Jakarta ternyata nenek moyang orang Kuningan Jawa Barat pernah ikut andil dalam membangun pemukiman masyarakat di sana. Hal itu berawal ketika dulu, tepatnya tahun 1522, terjadi peristiwa penyerbuan pasukan Fatahillah dari kerajaan Demak untuk mengusir tentara Portugis di Batavia. Ikut bergabung di dalam pasukan tentara Fatahillah diantaranya sekelompok pasukan balabantuan yang direkrut dari Kerajaan Cirebon dan Kuningan (Jawa Barat). Kelompok pasukan dari Kuningan ini dipimpin oleh Sang Adipati Kuningan sendiri (Suranggajaya) dan panglima perangnya (senapati) bernama Ewangga. Dalam peristiwa tersebut akhirnya pasukan gabungan pimpinan Fatahillah tadi berhasil merebut Batavia dari tangan Portugis. Peristiwa gemilang ini diabadikan dengan perubahan nama Batavia dengan sebutan baru yaitu JAYAKARTA, Jaya = kemenangan, karta = abadi. Kelak nama Jayakarta ini akhirnya dikenal dengan nama JAKARTA sampai sekarang ini.
Konon setelah berhasil mengusir Portugis dari Batavia ini, balatentara pribumi yang berasal dari Demak, Cirebon, dan juga Kuningan ini sebagian ada yang kembali pulang ke kampung halamannya dan sebagian lagi ada yang tinggal menetap di Jayakarta. Dan diantara yang menetap ini adalah pasukan balatentara dari Kuningan yang akhirnya bermukim di sana mendirikan perkampungan orang Kuningan yang sampai sekarang tetap abadi dipakai sebagai daerah KUNINGAN di Jakarta Selatan.

Ada Apa Dengan Nama Kuningan ?









Ada satu pertanyaan yang selalu menggelayut dalam pikiran, dan dengan suatu kerangka pemikiran yang sedemikian rupa (relatif ilmiah?) saya berusaha mencoba memberikan suatu jawaban atas pertanyaan tadi yang kiranya dapat diterima oleh nalar keilmuan yaitu berkenaan dengan penggunaan nama sebuah tempat yaitu KUNINGAN, sebagai nama satu daerah yang kini menjadi salah satu kabupaten di Jawa Barat. Sebenarnya sejak kapan sih nama Kuningan ini dipakai bila menilik sejarahnya?,  seberapa lama atau tua?, pernah menjadi nama sebutan atau julukan apa saja Kuningan itu?, bagaimana bila dibandingkan dengan usia ketuaan dari nama daerah-daerah lainnya yang kini eksis di Jawa Barat sebagai nama kabupaten-kabupaten, sudah tuakah atau bahkan paling tuakah Kuningan itu? Kita akan coba membedahnya dalam pembicaraan kali ini.
Bila kita melihat sejarah daerah-daerah ibukota kabupaten di Jawa Barat, nama Kuningan yang sekarang termasuk salah satu Kabupaten di wilayah III, yaitu Jawa Barat sebelah timur bersama dengan Kab & Kodya Cirebon, Kab. Indramayu, dan Kab. Majalengka barangkali nama “Kuningan” telah lebih dulu disebut dalam sejarah sebagai daerah yang paling dulu ada. Demikian halnya dalam skala lebih luas di luar wilayah III Cirebon.
Di Jawa Barat ini lebih dari 20 kab/kod (yakni 26 kab/kod menurut data terakhir prop Jabar), yang masing-masing kabupaten/kotamadya ini tentunya punya latar sejarah perjalanan hidupnya masing-masing. Dan kalau kita membuka sejarah berdirinya tiap kabupaten/kotamadya yang ada di Jawa Barat ini (melalui search engine ke google dll.) akan nampak perbadingan angka tahun kapan suatu kabupaten/kodya dimaksud itu berdiri, misalnya: Kab. Cirebon – 1482, Kab. Bandung – 1641, Kab. Garut – 1813, Kab. Tasikmalaya – 1913, Kab. Ciamis – 1915 . Bahkan ada nama-nama kabupaten dalam sejarahnya itu pernah menggunakan nama yang berbeda, misalnya ada Timbanganten, Limbangan (Garut), Imbanagara, Galuh (Ciamis), Sukapura (Tasikmalaya), Caruban (Cirebon).
Selanjutnya bagaimana dengan Kuningan ?…… Menurut sumber Pemda kab. Kuningan bahwa titimangsa lahirnya Kab. Kuningan mengambil dari peristiwa pelantikan putera angkat Sunan Gunung Jati (Suranggajaya, putera Ki Gedeng Luragung) menjadi seorang Adipati (adipati = raja kecil) di Kuningan, yaitu tgl 1 September 1498. Penempatan & penetapan putera angkat Sunan Gunung Jati ini barangkali dapat dikatakan bahwa Kuningan saat itu berada di bawah pegaruh (kekuasaan) Kerajaan Islam Cirebon. Kemudian menurut pendapat Bpk. Sobana Hardjasaputra (Unpad) penetapan Kabupaten Kuningan seharusnya mengacu pada Peraturan No 23 th 1819 (staatsblad Hindia Belanda) yang menetapkan nama Kuningan sebagai nama satu dari lima Kabupaten di bawah naungan Keresiden Cirebon, yaitu: Cirebon, Maja, Bengawan Wetan, Kuningan, dan Galuh. Berarti berdasarkan staatblad bahwa th 1819 itulah sebagai awal berdirinya Kuningan sebagai nama Kabupaten (= pemerintahan daerah Tk II). Namun dalam hal ini, bukan mencari penetapan dasar hukum (de jure) tentang berdirinya Kuningan sebagai nama kabupaten yang akan kita tinjau, melainkan eksistensi penggunaan nama “KUNINGAN” itu sendiri sebagai nama daerah atau tempat secara de facto yang akan kita soroti.
Kalau kita merunut pada salah satu sumber sejarah yaitu naskah kuno Carita Parahiyangan, yang diperkirakan ditulis pada akhir masa pemerintahan Kerajaan Padjadjaran (1579/1580), naskah ini di dalamnya menuliskan dengan jelas kata-kata KUNINGAN sebagai nama suatu tempat atau daerah. Tempat bernama Kuningan ini berada dalam suatu lingkup keadaan yang digambarkan pernah eksis bersama dengan Galuh, Sunda, dan Galunggung; yaitu pada kurun waktu ketika raja Sanjaya mulai menguasai Kerajaan Galuh (abad ke-7 M). Berarti dari keterangan ini dapat diduga bahwa daerah bernama Kuningan itu sebenarnya telah ada pada abad ke-7 Masehi. Pada waktu itu di Kuningan ada pemerintahan bercorak kerajaan bernama Saunggalah yang diperintah Sang Seuweukarma atau Resiguru Demunawan. Bahkan disebutkan pula bahwa sebelum Demunawan berlangsung pemerintahan di Kuningan yang dipimpin Sang Prabu Wiragati (Sang Pandawa), bersama Sang Wulan dan Sang Tumanggal. Dari hal tersebut berarti bisa terjadi bahwa sebelum abad ke-7 M pun nama “Kuningan” sebenarnya telah ada atau eksis sebagai nama sebuah tempat yang menurut setting historisnya jelas berada di lokasi propinsi Jawa Barat sekarang.
Yang menjadi daya tarik untuk diungkapkan adalah tentang eksistensi nama “Kuningan” yang berarti usia ketuaannya sederajat atau satu level dengan nama “Galuh” dan “Galunggung”. Dalam perkembangan berikutnya 3 nama tempat ini mengalami “degradasi” yang berbeda, yakni nama “Kuningan” tetap abadi dipakai hingga menjadi nama kabupaten sekarang ini, sementara penggunaan nama “Galuh” dan “Galunggung” mengalami perubahan, yakni Galuh menjadi nama kabupaten Ciamis, dan Galunggung mejadi nama tempat (gunung) di Tasikmalaya sekarang ini.
Sementara itu dalam masa peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam, konon nama Kuningan pernah mendapat sebutan lain yaitu KAJENE yang diambil dari bahasa Jawa (?) yang artinya sama dengan “Kuning yang agung”. Namun sayang tidak diperoleh keterangan yang pasti berapa lama penggunaan nama Kajene ini dipakai dan pada masa pemerintahan siapa yang mengendalikan Kuningan saat itu.
Sayangnya memang belum ada sumber sejarah pendukung & pembanding lainnya, hanya sebatas keterangan naskah CP dan tradisi setempat. Namun walau bagaimanapun, isi naskah CP (sumber sejarah setempat, tidak sezaman) dan keterangan tradisi lokal tadi memberikan konstribusi yang besar dalam mengungkap sejarah raja dan kerajaan di Jawa Barat ini.( sne)

RUMUS PACARAN !!!

seng - iseng bongkar Facebook orang, eh ketemu yang seperti ini.
Kalau anda mau terapkan kayanya juga bagus sih.
Tapi kalo saya menganggao rumus ini perlu ditelaah ulang.

Karena belum munculnya reaksi kimia yang terjadi.

Monggo. Hehehe.

secangkir teh & sekerat roti

Tidak ada salahnya jika kita kembali melihat spion kendaraan kita yang disebut INDONESIA. Melirik kembali bencana alam yang sempat mengguncang bangsa ini. Gempa dan tsunami Aceh, Gempa Jogja, Gempa Padang, Tsunami Mentawai, dan yang masih dalam kondisi 'awas' yakni bencana Gunung Meletus Merapi.

Lihatlah kembali wajah - wajah yang kalut dalam keputus asaan itu. Wajah - wajah muram setelah diterkam bencana alam itu. Hiruk pikuk dalam tangis diselingi bergemanya nama Tuhan ditengah lautan gedung - gedung yang luluh lantak dan suasana yang mencekam. Siapa yang akan menjadi sandaran mereka ?

Lihatlah, semua orang dalam setiap elemen bangsa ini tergerak. Mulai dari mobilitas para tim relawan hingga anak - anak yang masih duduk dibangku sekolah dasar, mereka menyumbang tenaga, akal pikiran serta sebagian harta yang mereka miliki untuk dihibahkan kepada saudara mereka yang sedang bersedih di pulau seberang sana. Mereka tidak pernah bertukar nomer handphone bahkan mereka belum pernah saling bertatap mata. Namun mereka yang didasarkan pada rasa iba dan keikhlasan tidak pernah merasa terberatkan untuk sekedar menyambung secercah senyum yang sempat tertunda.

Itulah INDONESIA. Beratus - ratus juta penduduknya namun tidak saling mengenal. Tapi ketika ada yang merasa dalam kesakitan, mereka turut baur dalam rasa pedih tersebut. Tidak perlu pamrih, tidak perlu balas budi, yang penting mereka yang sedang dalam keputus asaan itu mampu menyambung kembali senyum yang sempat tertahan tersebut.